Apa yang harus dilakukan bila perusahaan tidak sanggup membayar upah pekerja sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi) dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat pandemic COVID-19?
Dalam beberapa kasus, perusahaan merasa tidak sanggup membayar upah pekerjanya dalam situasi darurat kesehatan masyarakat, karena akibat pembatasan aktivitas di lingkup dunia ketenagakerjaan dan bisnis telah berdampak pada menurunnya omzet atau penghasilan keuntungan perusahaan. Bagi perusahaan yang tidak sanggup membayar upah pekerja, tidak diperbolehkan untuk langsung serta merta mem-PHK pekerjanya atau tidak membayar upah pekerjanya.
Untuk mengatasi hal tersebut?
Perusahaan dapat mengajukan upaya penangguhan pembayaran upah sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi) ke Gubernur. Mengenai upaya penangguhan upah oleh pihak perusahaan telah diatur dalam ketentuan Pasal 90 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 42 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Provinsi.
Ketentuan-ketentuan tersebut telah menyatakan secara jelas bilamana ada perusahaan tidak sanggup membayar upah pekerjanya sesuai dengan standar upah minimum, maka ia wajib membuktikannya dengan membuka Laporan Keuangan Perusahaannya dan mengajukan upaya penangguhan upah kepada Gubernur.
Bilamana upaya penangguhan upah tersebut disetujui, maka gubernur akan menuangkannya dalam penetapan Keputusan Gubernur. Bila sudah ditetapkan dalam Keputusan Gubernur, maka Perusahaan dapat membayar upah pekerjanya di bawah standar Upah Minimum. Meski begitu, perusahaan diwajibkan membayarkan selisih kekurangan pembayaran upah pekerja sesuai UMP tersebut di tahun berikutnya.
Apakah perusahaan dapat melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap Pekerja/Buruh dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat wabah pandemi COVID-19?
Pada dasarnya, perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja/buruhnya secara sewenang-wenang dalam situasi apa pun, termasuk dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Sebagaimana ketentuan Pasal 151 ayat 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dinyatakan bahwa pihak perusahaan, serikat pekerja, maupun pekerja dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Namun, bila PHK tidak dapat terhindarkan pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat wabah pandemi virus COVID-19 dan tetap hendak dilakukan oleh perusahaan, baik dengan alasan: (1) “Force Majeure/Keadaan Memaksa yang di luar kehendak perusahaan/pekerja/serikat pekerja/negara/masyarakat”, maupun dengan alasan (2) “efisiensi”, maka perusahaan wajib untuk membuktikan alasan-alasan tersebut dengan adanya laporan keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik yang menunjukan adanya kerugian yang dialami oleh perusahaan.
Apa hukum yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk membuktikan adanya kerugian yang dialami akibat Force Majeure atau efisiensi?
Ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 164 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Bila perusahaan sudah mendapatkan bukti berupa adanya laporan keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik yang menunjukan adanya kerugian yang dialami oleh perusahaan, maka perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan alasan “Force Majeure/Keadaan Memaksa”, dengan membuktikan terlebih dahulu jika peristiwa yang terjadi (yang menyebabkan adanya keadaan memaksa) tersebut bukanlah disebabkan kesalahannya dan berada di luar kuasa perusahaan.
Sedangkan dalam hal melakukan “Efisiensi”, perusahaan harus meletakkan PHK sebagai upaya terakhir. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 jo. Putusan Mahkamah Konsitusi No : 19/PUU-IX/2011 yang telah menyatakan:
“Pengusaha hanya dapat mem-PHK buruh dengan alasan efisiensi yang mana harus dimaknai dengan Perusahaan Tutup Permanen atau Perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.
Atas ketentuan di atas, Putusan Mahkamah Konsitusi No : 19/PUU-IX/2011 telah menyatakan bahwa PHK karena alasan efisiensi haruslah menjadi pilihan terakhir, setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya lain yakni :
- Mengurangi Upah dan Fasilitas Pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
- Mengurangi Shift;
- Membatasi/ menghapuskan Kerja Lembur;
- Mengurangi jam kerja;
- Mengurangi hari kerja;
- Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu
- Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
- Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Apa saja hak-hak pekerja yang terkena PHK dengan alasan ‘Force Majeur’/keadaan memaksa maupun dengan alasan ‘Efisiensi’?
Bila Anda sebagai pekerja terkena PHK dengan alasan “Force Majeure/Keadaan Memaksa”, maka anda berhak untuk mendapatkan uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, uang penghargaan kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).
Namun bila anda sebagai pekerja terkena PHK dengan alasan “Efisiensi”, maka anda berhak untuk mendapatkan uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
0 Comments